BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
belakang
Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah
proses dari seorang ahli medis yang memeriksa tubuh pasien untuk menemukan
tanda klinis penyakit. Hasil pemeriksaan akan dicatat dalam rekam medis. Rekam medis dan
pemeriksaan fisik akan membantu dalam penegakkan diagnosis dan perencanaan
perawatan pasien.
Biasanya, pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, mulai dari bagian
kepala dan berakhir pada anggota gerak. Setelah pemeriksaan organ utama diperiksa dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi,
beberapa tes khusus mungkin diperlukan seperti test neurologi.
Dengan petunjuk yang didapat selama pemeriksaan riwayat dan fisik, ahli medis
dapat menyususn sebuah diagnosis diferensial, yakni sebuah daftar
penyebab yang mungkin menyebabkan gejala tersebut. Beberapa tes akan dilakukan
untuk meyakinkan penyebab tersebut.
Sebuah pemeriksaan yang lengkap akan terdiri diri
penilaian kondisi pasien secara umum dan sistem organ yang spesifik. Dalam
prakteknya, tanda vital atau pemeriksaan suhu, denyut dan tekanan darah selalu dilakukan
pertama kali.
1.2. Rumusan masalah
1.
Apa pengertian pemeriksaan fisik?
2.
Apa tujuan pemeriksaan fisik?
3.
Apa saja persiapan yang harus dilakukan
untuk pemeriksaan fisik?
4.
Bagaimana teknik pemeriksaan secara
inspeksi, palpasi,perkusi,auskulasi dan afaksio?
5.
Bagaimana prinsip pemeriksaan fisik?
1.3.
Tujuan Penulisan Makalah
1. Agar
mahasiswa mengetahui pengertian dari pemeriksaan fisik.
2. Agar
mahasiswa mengerti tujuan dari pemeriksaan fisik.
3. Agar mahasiswa mengetahui apa saja yang harus
disiapkan sebelum pemeriksaan fisik.
4.
Agar mahasiswa mengetahui teknik-teknik pemeriksaan fisik.
5.
Agar mahasiswa mengetahui apa saja prinsip pemeriksaan fisik.
1.4. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam
penulisan makalah ini yaitu metode diskusi kelompok dan metode studi
literature, dimana sumber yang digunakan menggunakan sumber pustaka (buku) dan
hasil browsing dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Defenisi
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk
menentukan adanya kelainan-kelainan dari suatu sistem atau suatu organ tubuh
dengan cara melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) dan
mendengarkan (auskultasi). (Raylene M Rospond,2009; Terj D. Lyrawati,2009)
Pemeriksaan fisik adalah metode pengumpulan data yang
sistematik dengan memakai indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan rasa
untuk mendeteksi masalah kesehatan klien.Untuk pemeriksaan fisik perawat
menggunakan teknik inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi (Craven
Hirnle,2000)
Pemeriksaan fisik dalam keperawatan
digunakan untuk mendapatkan data objektif dari riwayat keperawatan klien. Pemeriksaan
fisik sebaiknya dilakukan bersamaan dengan wawancara. Fokus
pengkajian fisik keperawatan adalah pada kemampuan fungsional klien. Misalnya ,
klien mengalami gangguan sistem muskuloskeletal, maka perawat mengkaji apakah
gangguan tersebut mempengaruhi klien dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari
atau tidak.
2.2. Tujuan
Pemeriksaan Fisik
Secara umum, pemeriksaan fisik yang
dilakukan bertujuan untuk:
1) Mengumpulkan data dasar tentang kesehatan klien.
2) Menambah, mengkonfirmasi, atau menyangkal data yang
diperoleh dalam riwayat keperawatan.
3) Mengkonfirmasi dan mengidentifikasi diagnosa
keperawatan.
4) Membuat penilaian klinis tentang perubahan status
kesehatan klien dan penatalaksanaan.
5) Mengevaluasi hasil fisiologis dari
asuhan keperawatan.
2.3. Manfaat Pemeriksaan Fisik
1) Sebagai data untuk membantu perawat dalam menegakkan
diagnose
keperawatan.
keperawatan.
2) Mengetahui masalah kesehatan yang di alami
klien.
3) Sebagai dasar untuk memilih intervensi
keperawatan yang tepat.
4) Sebagai data untuk mengevaluasi hasil dari
asuhan keperawatan
Persiapan
dalam pemeriksaan fisik :
-
Alat, berupa:
Meteran, timbangan, BB, stetoskop, tensimeter/spighnomanometer,
termometer, arloji/stopwatch, handscoon bersih (bila
perlu), tissue dan buku catatan. Alat diletakkan di dekat tempat tidur klien
yang akan di periksa.
-
Lingkungan : Pastikan ruangan dalam keadaan nyaman,
hangat, dan cukup penerangan. Misalnya menutup pintu/jendala atau skerem untuk
menjaga privacy klien
-
Klien (Fisik dan psikologis) : Bantu klien mengenakan
baju periksa jika ada dan anjurkan klien untuk rileks.
Pemeriksaan fisik mutlak dilakukan pada
setiap klien, terutama pada klien yang baru masuk ke tempat pelayanan kesehatan
untuk di rawat, secara rutin pada klien yang sedang di rawat, maupun sewaktu-waktu
sesuai kebutuhan klien.
2.4.Teknik
Pemeriksaan Fisik
Adapun teknik-teknik pemeriksaan
fisik yang digunakan adalah:
1.
Inspeksi
Langkah pertama pada pemeriksaan pasien adalah inspeksi, yaitu melihat dan
mengevaluasi pasien secara visual dan merupakan metode tertua yang digunakan
untuk mengkaji/menilai pasien.
Inspeksi adalah memeriksa dengan melihat dan mengingat dengan
menggunakan indera penglihatan, pendengaran dan penciuman. Inspeksi umum
dilakukan saat pertama kali bertemu pasien. Suatu gambaran atau kesan umum
mengenai keadaan kesehatan yang di bentuk.(Laura A.Talbot dan Mary Meyers,
1997)
Inspeksi merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat bagian
tubuh yang diperiksa melalui pengamatan (mata atau kaca pembesar). (Dewi
Sartika, 2010)
Sebagai individu-individu, kita selalu menilai orang lain setiap hari,
membangun kesan pada pikiran kita mengenai orang lain, memutuskan apakah kita
menyukai atau tidak menyukai mereka, dan secara umum akan tetap bersama mereka
atau sebaliknya malah menjauhi mereka. Yang tidak kita sadari, sebenarnya kita
telah melakukan inspeksi.
Secara formal, pemeriksa menggunakan indera penglihatan berkonsentrasi
untuk melihat pasien secara seksama dan tanpa terburu-buru, sejak detik pertama
bertemu, dengan cara memperoleh riwayat pasien, terutama sepanjang pemeriksaan
fisik dilakukan.
Inspeksi juga menggunakan indera pendengaran dan penciuman untuk mengetahui
lebih lanjut, lebih jelas dan memvalidasi apa yang dilihat oleh mata dan
dikaitkan dengan suara atau bau yang berasal dari pasien. Pemeriksa kemudian
akan mengumpulkan dan menggolongkan informasi yang diterima oleh semua indera
tersebut, baik disadari maupun tidak disadari, dan membentuk opini, subyektif
dan obyektif, mengenai pasien, yangakan membantu dalam membuat keputusan
diagnosis dan terapi.
Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh meliputi : ukuran tubuh, warna,
bentuk, posisi, kesimetrisan, lesi dan penonjolan/pembengkakak. Setelah hasil
normal dan abnormal bagian tubuh satu dengan bagian tubuh lainnya.
Cara
pemeriksaan inspeksi:
1)
Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
2)
Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka (diupayakan
pasien membuka sendiri pakaiannya. Sebaiknya pakaian
tidak dibuka sekaligus, namun dibuka seperlunya untuk pemeriksaan sedangkan
bagian lain ditutupi selimut).
3)
Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan)
dan abnormalitas. Contoh : mata kuning (ikterus),
terdapat benjolan di leher, kulit kebiruan (sianosis), dan lain-lain.
4)
Catat hasilnya.
2.
Palpasi
Palpasi,
yaitu teknik pemeriksaan yang menggunakan indera peraba (tangan/jari-jari)
untuk menyentuh atau merasakan dengan tangan, palpasi merupakan langkah kedua
pada pemeriksaan pasien dan digunakan untuk menambah data yang telah diperoleh
melalui inspeksi sebelumnya. Palpasi adalah pemeriksaan struktur individu, baik
pada permukaan maupun dalam rongga tubuh, terutama pada abdomen, yang akan
memberikan informasi mengenai temperature tubuh, posisi, ukuran, bentuk,
konsistensi atau mobilitas/gerakan komponen-komponen anatomi yang normal, dan
apakah terdapat abnormalitas misalnya pembesaran organ atau adanya massa yang
dapat teraba. Palpasi juga efektif untuk menilai keadaan cairan pada ruang
tubuh. (Rhonda Jones, 2009)
Pemeriksa yang ahli akan menggunakan bagian tangan yang paling sensitif
untuk melakukan setiap jenis palpasi. Pads
atau ujung jari pada bagian distal ruas interphalangeal
paling baik digunakan untuk palpasi, karena ujung saraf spesifik untuk
indera sentuh terkelompok saling berdekatan, sehingga akan meningkatkan
kemapuan membedakan dan interpretasi apa yang disentuh. Pengukuran kasar suhu tubuh paling baik dilakukan
menggunakan bagian punggung (dorsum) tangan. Posisi, ukuran dan konsistensi
struktur dapat ditentukan secara paling efektif menggunakan tangan yang
berfungsi untuk meraih atau memegang. Struktur individu dalam rongga tubuh,
terutama dalam abdomen/perut, dapat dipalpasi untuk mengetajui posisi, ukuran,
bentuk, konsistensi dan mobilitas. Tangan juga dapat digunakan untuk mendeteksi
massa atau mengevaluasi cairan yang terkumpul secara abnormal. Vibrasi/getaran
dapat mudah terdeteksi oleh permukaan telapak tangan. Area ini dapat mendeteksi
getaran dengan baik, karena suara dapat lewat dengan mudah melalui tangan.
Untuk area mana saja yang dinilai, akan sangat bermanfaat jika menggunakan
palpasi dalam atau ringan.
Teknik
palpasi dibedakan menjadi :
1)
Palpasi ringan, pada awal selalu digunakan palpasi ringan,
dan kekuatan palpasi dapat ditingkatkan terus sepanjang pasien dapat menoleransi.
Jika pada awal palpasi, anda melakukan terlalu dalam, anda mungkin melewatkan
dan tidak mengetahui jika terdapat lesi permukaan dan palpasi anda akan
mengakibatkan rasa nyeri yang tidak perlu pada pasien. Palpasi ringan bersifat
superfisial, lembut dan berguna untuk menilai lesi pada permukaan atau dalam
otot. Juga dapat membuat pasien relaks sebelum melakukan palpasi medium dan
dalam. Untuk melakukan palpasi ringan, letakkan/tekan secara ringan ujung jari
anda pada kulit pasien, gerakkan jari secara memutar.
2)
Palpasi medium, untuk menilai lesi medieval pada
peritoneum dan untuk massa, nyeri tekan, pulsasi (meraba denyut), dan nyeri
pada kebanyakan struktur tubuh. Dilakukan dengan menekan permukaan telapak jari
1-2 cm ke dalam tubuh pasien, menggunakan gerakan sirkuler/memutar.
3)
Palpasi dalam, alpasi dalam digunakan untuk menilai
organ dalam rongga tubuh, dan dapat dilakukan dengan satu atau dua tangan. Jika
dilakukan dengan dua tangan, tangan yang di atas menekan tangan yang di bawah
2-4 cm ke bawah dengan gerakan sirkuler. Bagian yang nyeri atau tidak nyaman
selalu dipalpasi terakhir. Kadang, diperlukan untuk membuat rasa tidak nyaman
atau nyeri untuk dapat benar-benar menilai suatu gejala.
Cara
Pemeriksaan Palpasi:
1)
Posisi pasien bisa tidur, duduk atau berdiri
2)
Pastikan pasien dalam keadaan rilek dengan posisi yang
nyaman
3)
Kuku jari-jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat
dan kering
4)
Minta pasien untuk menarik napas dalam agar
meningkatkan relaksasi otot.
5)
Lakukan Palpasi dengan sentuhan perlahan-lahan dengan
tekanan ringan
6)
Palpasi daerah yang dicurigai, adanya nyeri tekan
menandakan kelainan
7)
Lakukan Palpasi secara hati-hati apabila diduga adanya
fraktur tulang.
8)
Hindari tekanan yang berlebihan pada pembuluh darah.
9)
Rasakan dengan seksama kelainan organ/jaringan, adanya
nodul, tumor bergerak/tidak dengan
konsistensi padat/kenyal, bersifat kasar/lembut, ukurannya dan ada/tidaknya
getaran/ trill, serta
rasa nyeri raba / tekan.
10)
Catatlah hasil pemeriksaan yang didapat
3. Perkusi
Perkusi adalah pemeriksaan dengan
jalan mengetuk bagian permukaan tubuh tertentu untuk membandingkan dengan
bagian tubuh lainnya (kiri/kanan) dengan menghasilkan suara, yang bertujuan
untuk mengidentifikasi batas/ lokasi dan konsistensi jaringan. (Dewi Sartika,
2010)
Perkusi merupakan langkah ketiga
pemeriksaan pasien, yaitu dengan menepuk permukaan tubuh secara ringan dan
tajam, untuk menentukan posisi, ukuran dan densitas struktur atau cairan atau
udara di bawahnya. Menepuk permukaan akan menghasilkan gelombang suara yang
berjalan sepanjang 5-7 cm (2-3 inci) di bawahnya. Pantulan suara akan
berbeda-beda karakteristiknya tergantung sifat struktur yang dilewati oleh
suara itu.
Terdapat lima macam kualitas dan
karakter suara yang keluar pada saat perkusi sesuai dengan tipe dan sifat
lapisan dibawahnya sesuai seperti yang tercantum di bawah ini:
Suara
|
|
Nada
|
Intensitas
|
|
Durasi
|
|
Kualitas
|
|
|
Lokasi
|
Datar
|
|
Tinggi
|
Lembut
|
|
Pendek
|
|
Absolut
Tidak jelas (dullnes)
|
Normal:Sternum,
paha
Abnormal :
paru-paru
atelektatik;
Massa padat
|
||
|
|
Medium
|
Medium
|
|
Moderat
|
|
Seperti
suara jatuh/ pukulan
|
|
||
Tidak
tajam
(Dull)
|
|
Normal:
hati;
organ‐organ lain; kandung
kencing
penuh
Abnormal:
efusi
pleura,
asites
|
||||||||
Resonan/gaung
|
|
Rendah
|
Keras
|
|
Moderat/Panjang
|
|
Kosong
|
Normal : Paru-paru
|
||
Hiper-sonan
|
|
Sangat rendah
|
Sangat keras
|
|
Panjang
|
|
Berdebam
|
Abnormal: Emfisema paru
|
||
Timpani
|
|
Tinggi
|
Keras
|
|
Panjang
|
|
Seperti
drum
|
Normal:
gelembung
udara
lambung
Abnormal:
abdomen
distensi
udara
|
Keterangan tabel :
o Frekuensi
adalah jumlah vibrasi atau siklus perdetik (cycles per second/cps). Vibrasi
cepat menghasilkan nada dengan pitch yang tinggi, sedangkan vibrasi lambat
menghasilkan nada pitch yang rendah.
o Amplitudo
(atau intensitas) menentukan kerasnya suara. Makin besar amplitude, makin keras
suara.
o Durasi
adalah panjangnya waktu di mana suara masih terdengar.
o Kualitas (atau
timbre, harmonis, atau overtone) adalah konsep subyektif yang digunakan untuk
menggambarkan variasi akibat overtone suara yang tertentu.
Adapun
suara-suara yang dijumpai pada perkusi adalah:
Sonor : Suara perkusi jaringan yang normal
Redup : Suara perkusi jaringan yang lebih
padat, misalnya
didaerah paru-paru pada penderita pneumonia.
didaerah paru-paru pada penderita pneumonia.
Pekak :
Suara perkusi jaringan yang padat, seperti pada perkusi
daerah jantung/hepar
daerah jantung/hepar
Hipersonor : Suara perkusi pada daerah yang lebih
berongga
kosong,misalnya daerah caverna paru yang diderita pada
klien asthma kronik.
kosong,misalnya daerah caverna paru yang diderita pada
klien asthma kronik.
Prinsip dasarnya adalah jika suatu struktur
berisi lebih banyak udara (misalnya paru-paru) akan menghasilkan suara yang
lebih keras, rendah dan panjang daripada struktur yang lebih padat (misalnya
otot paha), yang menghasilkan suara yang lebih lembut, tinggi dan pendek.
Densitas jaringan atau massa yang tebal akan menyerap suara, seperti proteksi
akustik menyerap suara pada ruang “kedap suara”.
Ada dua metode perkusi, langsung (segera)
dan tak langsung (diperantarai). Perkusi diperantarai (tak langsung) adalah
metode yang menggunakan alat pleksimeter untuk menimbulkan perkusi. Dari
sejarahnya, pleksimeter adalah palu karet kecil, dan digunakan untuk mengetuk
plessimeter, suatu obyek padat kecil (biasanya terbuat dari gading), yang
dipegang erat di depan permukaan tubuh. Ini merupakan metode yang disukai
selama hampir 100 tahun, tetapi pemeriksa merasa repot untuk membawa peralatan
ekstra ini. Sehingga, perkusi tak langsung, menggunakan jari telunjuk dan jari
tengah atau hanya jari tengah satu tangan bertindak sebagai pleksimeter, yang
mengetuk jari tengah tangan yang lain sebagai plessimeter, berkembang menjadi
metode pilihan sekarang.
Perkusi jari
tak langsung
Cara
pemeriksaan :
1)
Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
tergantung bagian yang akan diperiksa
2)
Pastikan pasien dalam keadaan rilex
3)
Minta pasien untuk menarik napas dalam agar meningkatkan
relaksasi otot.
4)
Kuku jari-jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat
dan kering.
5)
Lakukan perkusi secara seksama dan sistimatis yaitu
dengan :
Metode langsung, yaitu
mengentokan jari tanagn langsung dengan menggunakan 1 atau 2 ujung jari.
Metode tidak
langsung, yaitu dengan cara jari tengah tangan kiri diletakkan dengan lembut diatas
permukaan tubuh, ujung jari tengah dari tangan kanan mengetuk persendian,
pukulan harus cepat dengan lengan tidak bergerak dan pergelangan tangan rileks,
berikan tenaga pukulan yang sama pada setiap area tubuh.
Perkusi kepalan tangan
(A) Perkusi tak langsung pada daerah costovertebral/CVA (B) Perkusi
langsung pada CVA.
langsung pada CVA.
4. Auskultasi
Auskultasi
adalah tindakan mendengarkan bunyi yang ditimbulkan oleh bermacam-macam organ
dan jaringan tubuh.(Laura A.Talbot dan Mary Meyers, 1997)
Auskultasi
Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara yang
dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang disebut dengan stetoskop. Hal-hal yang didengarkan
tersebut antara lain seperti bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus. (Dewi
Sartika, 2010)
Penilaian Pemeriksaan auskultasi meliputi:
1. Frekuensi, yaitu menghitung jumlah
getaran permenit
2. Durasi, yaitu lama bunyi yang
terdengar
3. Intensitas bunyi, yaitu ukuran kuat
atau lemahnya suara
4. Kualitas, yaitu warna nada atau
variasi suara
Cara
pemeriksaan :
1.
Posisi
pasien dapat tidur, duduk atau berdiri tergantung bagian mana yang diperiksa dan bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
2.
Pastikan
pasien dalam keadaan rilek dengan posisi yang nyaman.
3.
Pastikan
stetoskop sudah terpasang baik dan tidak bocor antara bagian kepala, selang dan
telinga
4.
Pasanglah
ujung steoskop bagian telinga ke lubang telinga pemeriksa
sesuai arah, ukuran dan lengkungannya.
sesuai arah, ukuran dan lengkungannya.
5.
Hangatkan
dulu kepala stetoskop dengan cara menempelkannya pada
telapak tangan pemeriksa atau menggosokan pada pakaian pemeriksa
telapak tangan pemeriksa atau menggosokan pada pakaian pemeriksa
6.
Tempelkan
kepala stetoskop pada bagian tubuh pasien yang akan
diperiksa dan lakukan pemeriksaan dengan seksama dan sistematis
diperiksa dan lakukan pemeriksaan dengan seksama dan sistematis
7.
Pergunakanlah
bel stetoskop untuk mendengarkan bunyi bernada rendah pada tekanan ringan yaitu
pada bunyi jantung dan vaskuler dan gunakan diafragma untuk bunyi bernada
tinggi seperti bunyi usus dan paru
8.
Informasikan
hasil pemeriksaan dan catat pada status.
Stetoskop
standar dapat digunakan metode auskultasi untuk mendengar suara Korotkoff saat
mengukur tekanan darah. Tekanan darah
arteri pada manusia secara rutin diukur dengan metode auskultasi. Suatu manset yang dapat dipompa (manset
Riva-Rocci) dihubungkan pada manometer air raksa (sfigmomanometer)
kemudian dililitkan disekitar lengan dan stetoskop diletakkan diatas arteri
brakialis pada siku (Ganong, 1999).
Kelebihan pemeriksaan
tekanan darah metode auskultasi adalah
akurat apabila dipergunakan secara tepat, tetapi beberapa pertimbangan harus
diamati, sedangkan
kekurangan
untuk mengukur tekanan darah melalui metode auskultasi yaitu manset harus setinggi jantung untuk
memperoleh tekanan yang tidak dipengaruhi oleh gravitasi. Bila
manset dibiarkan terpompa beberapa saat, rasa tidak nyaman dapat menyebabkan
refleks vasokonstriksi umum, meningkatkan tekanan darah (Ganong, 1999).
Bunyi Korotkoff dihasilkan
oleh arus turbulen dalam arteri brakialis. Bunyi ini
timbul akibat timbulnya aliran turbulen dalam arteri yang disebabkan oleh
penekanan manset pada arteri tersebut. Dalam cara auskultasi ini harus
diperhatikan bahwa terdapat suatu jarak yang paling sedikit 5 cm, antara manset
dan tempat meletakkan stetoskop. Mula-mula rabalah arteri brachialis untuk
menentukan tempat meletakkan stetoskop. Kemudian pompalah manset sehingga
tekanannya melebihi tekanan diastolis (yang diketahui dari palpasi). Turunkan
tekanan manset perlahan-lahan sambil meletakkan stetoskop di atas arteri
brachialis pada siku. Mula-mula tidak terdengar suatu bunyi kemudian akan
terdengar bunyi mengetuk yaitu ketika darah mulai melewati arteri yang tertekan
oleh manset sehingga terjadilah turbulensi.
Bunyi yang terdengar disebut bunyi Korotkoff
dan dapat dibagi dalam 5 fase, yaitu :
1) Fase I : Terjadi bila tekanan penyumbat turun sampai tekanan darah sistolik.
Suara mengetuknya jelas dan secara berangsur-angsur intensitasnya meningkat
ketika tekanan penyumbat turun.
2) Fase II : Terjadi pada tekanan kira-kira 10-15 mmHg di bawah fase I dan
terdiri dari suara mengetuk yang diikuti dengan bising.
3) Fase III : Terjadi bila tekanan penyumbat turun cukup banyak sehingga
sejumlah besar volume darah dapat mengaliri arteri yang tersumbat sebagian.
Bunyinya serupa dengan bunyi fase II, kecuali bahwa hanya terdengar bunyi
ketukan.
4) Fase IV : Terjadi bila intensitas suara tiba-tiba melemah ketika tekanan
mendekati tekanan darah diastolik.
5) Fase V : Terjadi bila bunyi sama sekali menghilang. Pembuluh darat tidak
tertekan lagi oleh manset penyumbat dan tidak ada lagi aliran turbulensi
( Kurniawan,
2006 ).
Posisi
Pemeriksaan teknik
auskultasi:
Untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan yang optimal , maka posisi pemeriksaan sangat
menentukan . beberapa posisi yang umum dilakukan yaitu :
a. Posisi duduk dapat dilakukan di
kursi atau tempat tidur.
Digunakan
untuk pemeriksaan pada kepala, leher, dada, jantung, paru, mamae, ektremitas
atas.
b. Posisi supine (terlentang) yaitu
posisi berbaring terlentang dengan kepala disangga bantal. Posisi ini untuk
pemeriksaan pada kepala, leher, dada depan, paru, mamae, jantung, abdomen,
ektremitas dan nadi perifer.
c. Posisi dorsal recumbent yaitu posisi
berbaring dengan lutut ditekuk dan kaki menyentuh tempat tidur.
d. Posisi sims (tidur miring), untuk
pemeriksaan rectal dan vagina.
e. Posisi Prone (telungkup ), untuk evaluasi
sendi pinggul dan punggung.
f. Posisi
litotomi yaitu posisi berbaring telentang dengan mengangkat kedua kaki dan
menariknya ke atas bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa genitalia
pada proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi.
g. Posisi knee chest (menungging),
untuk pemeriksaan rectal
h. Posisi berdiri yaitu untuk evaluasi
abnormalitas postural, langkah dan keseimbangan
5.
Olfaksi
Olfaksi
adalah pemeriksaan fisik melalui indra penciuman (hidung) untuk mengenali
sifat dan sumber bau badan yang bertujuan untuk mendeteksi abnormalitas yg
tidak dapat dikenali dengan cara lain.
Sebagai contoh, klien dengan gips
diperkirakan memang akan mengalami ketidaknyamanan setelah cedera. Tetapi,
bagaimanapun juga perawat yang mengetahui adanya bau kuat akan mencurigai bahwa
ketidaknyamanan tersebut dapat juga berhubungan dengan infeksi luka. Rasa
tidak nyaman itu sendiri tidak menyatakan adanya infeksi. Hasil olfaksi dan
keterampilan pengkajian lainnya memungkinkan perawat mendeteksi abnormalitas
yang serius.
PENGKAJIAN
KARAKTERISTIK BAU
Penyebab
|
Tempat Pemeriksaan
|
Yang diakibatkan
|
|
Alkohol
|
Rongga oral
|
Konsumsi alcohol,diabetes
|
|
Amonia
|
Urine
|
Infeksi traktus urinarius
|
|
Bau badan
|
Kulit, terutama di area bagian
tubuh yang bergesekan(mis. Dibawah lengan dan payudara
|
Hygiene buruk, keringat
berlebihan(hiperhidrosis) keringat berbau busuk(bromidrosis)
|
|
Feses
|
Daerah lukaMuntah
Area
rektal
|
Abses luka Obstruksi usus
Inkontinensia
fekal
|
|
Feses berbau busuk pada bayi
|
Feses
|
Sindrom Malabsorpsi
|
|
Halitosis
|
Rongga oral
|
Hygiene gigi dan oral yang buruk,
penyakit gusi
|
|
Manis,keton buah-buahan
|
Rongga oral
|
Asidosis diabetikum
|
|
Urine basi
|
Kulit
|
Asidosis uremia
|
|
Bau manis,kental,tebal
|
Drainase luka
|
Infeksi pseudomonas(bakteri)
|
|
Bau apek
|
Bagian tubuh yang digips
|
Infeksi di dalam gips
|
|
Bau manis, busuk
|
Trakeostomi atau sekresi mukus
|
Infeksi cabang bronchial(bakteri
pseudomonas
|
|
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Pemeriksaan
fisik dalah pemeriksaan tubuh klien secara keseluruhan atau hanya bagian
tertentu yang dianggap perlu, untuk memperoleh data yang sistematif dan
komprehensif, memastikan/membuktikan hasil anamnesa, menentukan masalah dan
merencanakan tindakan keperawatan yang tepat bagi klien. Pemeriksaan fisik
mutlak dilakukan pada setiap klien, terutama pada klien yang baru masuk ke
tempat pelayanan kesehatan untuk di rawat, secara rutin pada klien yang sedang
di rawat, sewaktu-waktu sesuai kebutuhan klien. Jadi pemeriksaan fisik ini
sangat penting dan harus di lakukan pada kondisi tersebut, baik klien dalam
keadaan sadar maupun tidak sadar. Pemeriksaan fisik menjadi sangat penting
karena sangat bermanfaat, baik untuk untuk menegakkan diagnosa keperawatan,
memilih intervensi yang tepat untuk proses keperawatan, maupun untuk
mengevaluasi hasil dari asuhan keperawatan.
3.2.Saran
Agar pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan baik, maka
perawat harus memahami ilmu pemeriksaan fisik dengan sempurna dan
pemeriksaan fisik ini harus dilakukan secara berurutan, sistematis, dan
dilakukan dengan prosedur yang benar.
Agar pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan baik, maka
perawat harus memahami ilmu pemeriksaan fisik dengan sempurna dan
pemeriksaan fisik ini harus dilakukan secara berurutan, sistematis, dan
dilakukan dengan prosedur yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
Priharjo, Robert. 2006.
Pengkajian Fisik Keperawatan. Jakarta : EGC
Trikaloka H. Putrid an
Achmad Fanani. 2010. Etika dan Profesi Keperawatan. Yogyakarta : Citra
Pustaka.
Bates, Barbara. 1998. Pemeriksaan
Fisik dan Riwayat Kesehatan. Jakarta. EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar